Legenda kalacakra di pewayangan bermula dari penulisan mantram sakti di dada Batara Kala oleh Batara Guru yang menyamar sebagai dalang Kandha Buwana. Dan di buatnya Rajah Kalacakra dimaksudkan agar siapapun yang bisa membacanya dan siapa saja yang bisa mengucapkan mantram tersebut tidak akan menjadi korban dan tidak akan diganggu oleh Batara Kala. Rajah Kalacakra menjadi sebuah kekuatan gaib yang merubah suatu keburukan menjadi kebaikan, sebuah doa kepada Yang Maha Kuasa supaya merubah suatu kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik selama manusia hidup dalam kekuasaan sang waktu ( Sang Kala atau Sang Hyang Kala ).
Semua kejadian buruk dalam kehidupan manusia dipercaya selain sebagai suratan nasib / takdir, juga banyak berkaitan dengan yang namanya karma ( sebab akibat ). bisa karma dari masa lalunya, karma dari perbuatan-perbuatannya yang sekarang, karma dari kondisi kelahirannya, juga imbas dari karma / kesialan yang di bawa oleh orang lain ( misal : ikut menjadi korban kecelakaan lalu-lintas, dsb ).
Semua kejadian buruk dalam kehidupan manusia dipercaya selain sebagai suratan nasib / takdir, juga banyak berkaitan dengan yang namanya karma ( sebab akibat ). bisa karma dari masa lalunya, karma dari perbuatan-perbuatannya yang sekarang, karma dari kondisi kelahirannya, juga imbas dari karma / kesialan yang di bawa oleh orang lain ( misal : ikut menjadi korban kecelakaan lalu-lintas, dsb ).
Pada perkembangan selanjutnya Rajah Kalacakra diwujudkan menjadi mantra untuk menangkal berbagai kekuatan magis jahat yang dapat mengganggu keselamatan lahir dan batin. Selain digunakan untuk melindungi diri dari gangguan dan serangan gaib mahluk-mahluk halus, juga memberikan perisai pagaran gaib kepada para penggunanya agar terhindar dari segala keburukan atau ketidak-nyamanan dalam kehidupan.
Oleh karena itu Rajah Kala Cakra sering digunakan dalam ruwatan-ruwatan tradisi jawa dengan membacakan mantra-mantranya. Di India sendiri upaya ruwatan dan bersih diri banyak juga dilakukan, terutama berupa ritual khusus di sungai Gangga.
Rapal berbunyi :
Hong Hilaheng Kamurep Kamidep Nir Hyang Kala Mercu Katub ( bc. 3x ) ” Yamaraja – Jaramaya, Yamarani – Niramaya, Yasilapa – Palasiya, Yamiroda – Daromiya,
Yamidosa – Sadomiya, Yadayuda – Dayudaya, Yasiyaca – Cayasiya, Yasihama – Mahasiya ”
Bunyi mantranya dilakukan pembalikkan dalam membacanya, karena bunyi maknanya dimaksudkan sebagai upaya membalik keadaan, membalik kondisi yang buruk menjadi baik, dan sifatnya menundukkan, bukan menyerang balik.
1. Yamaraja – Jaramaya : siapa yang menyerang berbalik menjadi berbelas kasihan.
2. Yamarani – Niramaya : siapa yang datang dengan niat buruk akan berbalik dan menjauhi.
3. Yasilapa – Palasiya : siapa yang membuat kelaparan berbalik memberi makan.
4. Yamiroda – Daromiya : siapa yang memaksa berbalik memberi kebebasan dan keleluasaan.
5. Yamidosa – Sadomiya : siapa yang berbuat dosa berbalik berbuat kebajikan.
6. Yadayuda – Dayudaya : siapa yang memerangi berbalik membawa damai.
7. Yasiyaca – Cayasiya : siapa yang menyengsarakan berbalik membawa kesejahteraan.
8. Yasihama – Mahasiya : siapa yang berbuat merusak berbalik sayang dan memelihara.

0 komentar :
Posting Komentar
Silahkan berikan tanggapan atau komentar atas artikel - artikel yang telah di posting pada halaman ini dengan sopan dan bijaksana ...