Posts Subscribe to InFoGauL Comments

Negarawan Sejati

Gambaran kejiwaan negarawan sejati, mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak hanya memiliki kesadaran theolgis, lebih dari itu memiliki kesadaran kosmik. Kesadaran yang selaras dan seimbang antara jagad kecil ( mikrokosmos ) dan jagad besar ( makrokosmos ), keselarasan antara rakyat dengan pemimpinnya (manunggaling kawula kalawan gusti), dan keselarasan jiwa manusia dengan nilai ketuhanan ( manunggaling kawula Gusti atau roroning atunggil/dwi tunggal ). Pencapaian keadaan itu dapat dirasakan sebagai suasana yang tenang, damai, riang, bahagia. Saling memberi, saling menebarkan aura kasih-sayang. Terpancarlah nilai-nilai kebaikan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Kebaikan akan meretas kebaikan pula.

Dalam diri pribadi, keadaan positif ini memicu produksi hormon-hormon melatonin & endorfin, yang bekerja untuk melipatgandakan ketenangan, ketrentaman dan kebahagiaan. Begitulah seterusnya. Hiup menjadi lebih tenang, tidak kelebihan hormon adrenalin yang akan membawa kepada sikap kagetan dan gumunan, raksioner dan frontal, gelisah, geram dan emosional. Tipikal seorang negarawan sejati yakni merdeka dari pengaruh hegemoni lymbic. Saya sebut pula sebagai pemimpin yang nuruti kareping rahsa. Dalam terminologi falsafah Jawa disebut sebagai kodok kinemulan ing leng, atau wit ing sajroning wiji. Jiwa yang tuntun oleh sukma-sejati/roh kudus/ruh al quds, di bimbing oleh rasa sejati/sirrulah, di sinari oleh cahyo sejati/nurullah, dan pada akhirnya menjadi jiwa raga yang di hidupkan oleh atma sejati/chayyu/kayun yakni energi yang menghidupkan. 

Mereka itulah adalah sosok negarawan sejati. Pribadi yang tidak lagi terkooptasi oleh kelompok kepentingannya sendiri. Tidak mewakili dan mengatasnamakan kepentingan dan warna politik, golongan, dan kelompok tertentu. Negarawan mengatasi kepentingan seluruh warga bangsa, atau mengutamakan kepentingan umum. Perilaku dan perbuatan pribadi negarawan sejati tidaklah egois, sebaliknya bersikap altruis mempersembahkan hidupnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsanya di atas kepentingan-kepentingan lainnya ( berkah bagi alam/rahmatan lil alamin ). Kursi kekuasaan bukan menjadi tujuan, melainkan sebagai sarana atau alat menciptakan kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan bersama. 

Biarpun tidak sedang menduduki jabatan, seorang yang berjiwa negarawan sejati memiliki tabiat perilaku yang konsisten. Arif dan bijaksana, mampu ngemong diri pribadi sebelum bertanggungjawab ngemong orang banyak sehingga tak ada bedanya saat sebelum dan sesudah menduduki tampuk kekuasaan. Kehidupan ini dijalani dengan sikap profan apa adanya, tidak mengada-ada, antara solah atau perilaku badan dengan bawa atau perilaku batin tidak berbenturan satu sama lain ( munafik ). Selalu eling akan sangkan paraning dumadi, dan waspada atas segala hal yang dapat menjadi penghalang kemuliaan dirinya. 

Seorang negarawan sejati berani sugih tanpa bondo, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Menjalankan tanggung jawab kepemimpinannya dengan dasar rasa welas asih, welas tanpo alis, belas kasih kepada siapa saja tanpa pilih kasih, dan tanpa pamrih kecuali sebagai bentuk netepi titahing Gusti, mengikuti afngal atau sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang tanpa pernah pilih kasih !! Negarawan memanfaatkan kewenangannya sebagai alat atau sarana laku prihatin yakni dengan tapa ngrame. Laku tapa, tapaking hyang suksma. Menjadi pribadi kosmologis, perilakunya selaras, harmoni dan sinergi dengan kodrat alam. Kesadarannya bukan hanya kesadaran theologis dogmatis saja, namun sudah menggapai kesadaran kosmologis yang berada dalam wilayah kesadaran hakekat. 

Pastilah berkah Tuhan akan selalu berlimpah ruah, sumrambah dateng tiyang kathah, mampu merubah segala musibah menjadi anugrah. Kalis ing rubeda, nir ing sambekala. Itulah konsep keadilan dan kemakmuran suatu negeri, akan datang bilamana pemimpinnya adalah sosok pribadi yang jumeneng satria pinandita sinisihan wahyu. Siapapun bisa melakukan asal memiliki kehendak ( political will ) dan bertekat bulat ibarat melakukan semedi di “alas ketangga” ( keketeg ing hangga ) yakni dengan tekat bulat meliputi jiwa dan raga. 

Figur negarawan sejati, menjadikan dirinya seperti medan magnet positif yang akan menebarkan dan menarik segala hal yang positif, dan rumus ini berlaku pula sebaliknya. oleh sebab itu tidaklah sulit bagi negarawan sejati, bila selama masa kepemimpinannya akan menyebarkan benih-benih kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya. Menjadikan rakyatnya merasa benar-benar menjadi tuan di istananya sendiri. Bagi negarawan sejati, apa yang diucap akan terwujud ( sabda pandita ratu ), dan apa yang diucapkan segera terlaksana ( idu geni ). Siapapun dapat menghayati dan membuktikan sendiri. 

Karena Negarawan sejati bukan hanya monopoli seorang presiden, raja, atau perdana menteri saja. Tetapi bisa dilakukan oleh siapapun orangnya ; gubernur, bupati, camat, lurah, ketua RW/RT. Setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin, minimal menjadi pemimpin buat dirinya sendiri, dan keluarganya. Kiranya tidaklah mengada-ada, apabila telah diisyaratkan oleh para leluhur kita di masa lampau, bahwa negeri ini akan mencapai kejayaannya kembali, menjadi negeri yang adil, makmur, gemah ripah loh jinawi, hanya pada saat mana dipimpin oleh figur Ratu Adil. Berarti pula memiliki kiasan sebagai pribadi-pribadi yang gandrung keadilan dan sistem ekonomi-politik yang adil. Dan siapa pun anda ? bisa menjadi figur ratu adil apabila anda memiliki kemauan sungguh-sungguh yang anda tetapkan mulai hari ini.
Read more >>

Balance Of Forces Sebuah KERIS

Tidak semua keris mempunyai keistimewaan sampai berdiri di samping sarungnya, hanya keris yang berbobot selaras dengan hukum alam secara vertikal dan horisontal yang menampilkan karya adiluhung dari budaya Nusantara. Pembuatannya memiliki perhitungan yang baku mulai dari seleksi bahan ( besi, hulu dan jenis warangka ), cara meracik , meramu , melipat dan menempa besi berkali-kali hingga proses akhir pemberian nama pelengkap " Sang Urip " bagi keris tersebut… 

Sang Empu bukan hanya seorang ahli dalam membuat benda keris, tetapi mempunyai tingkat kerohanian yang sepadan dengan pendeta maupun seorang ilmuwan yang mengetahui rahasia gaib tentang 3 alam sekali pun, yaitu alam atas, alam tengah dan alam bawah. 

Kemahiran para Empu membuat keris merupakan sebuah misteri bagi khalayak. berdirinya keris mengisyaratkan balance of forces – keseimbangan antara kekuatan fisik, metafisika dan fisika, alam nyata dan alam gaib. sang Empu mengetahui kode-kode rahasia alam yang bisa disalurkan melalui proses pembuatan keris, berupa pamor, dapur, pemilihan besi, hulu dan sebagainya.

Kode-kode tersebut menjadi rumusan dalam tahapan pembuatan keris dan telah mencapai perwujudan cipta – karsa – rasa ,  faktor penentu lainnya adalah spatial – time ( penentuan tempat kerja dan waktu ) ,  Albert Einstein mempunyai teori fisika dengan teori relativitas dan ajaran lainnya termasuk mass, volume, weight. , tapi leluhur kita sudah menjadi Albert Einstein jaman dahulu, tidak perlu rumusan yang rumit namun hasilnya tidak semua orang mampu menjiplak. 

Leluhur kita sudah mengetahui kode-kode dan rahasia alam, secara turun-tumurun ada upaya untuk mewariskan ilmu keluhuran tersebut agar tidak punah,  hanya soal waktu saja, budaya masa lalu akan kembali seperti dahulu dengan segenap kesempurnaan dan pemahaman-nya, walau di dunia barat telah menunjukan ilmu anti-gravitasi – mencari pola magnet yang bisa membuat besi terangkat beberapa inci dari dasar , namun Indonesia sudah memiliki budaya dan ilmu warisan leluhur mengenai keselarasan dan keseimbangan.

Beberapa keris yang mampu berdiri secara bersamaan maka keris-keris tersebut tengah menunjukan idealisme kebersatuan , dan bilamana kekuatan energy yang memancar dari beberapa keris terlalu kuat bagi yang lainnya maka akan terjadi benturan perlawanan dan akan saling menjatuhkan satu sama lain, sebaliknya jika kekuatan energy di antara keris-keris tersebut mempunyai kesejajaran maka yang tampak adalah kekuatan saling mendukung yang saling menciptakan keselarasan dan keharmonisan.

Sebuah pengajaran berharga yang dapat kita terima dari hal tersebut di atas adalah ..... jika kita mampu berdiri tegak di atas tanah dengan berbekal kebanggaan atas budaya kita sendiri , maka kita akan lebih mudah untuk menjadi lebih elok dan selaras dari pada berbicara budaya pihak lain tanpa dasar yang justru akan membuat kita kehilangan akal normal..
Read more >>

Ng-Aji Saka

Karena kehendak Allah jugalah terjadinya manusia, hewan, pepohonan, kutu walang ataga, yang kesemuanya itu terjadi serta hidup dan dapat dilihat secara nyata wujudnya (ana rupa-wujude). Atas kehendak Allah tersebut yang luluh pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki keluhuran, keimanan, bawa laksana, welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan (kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta. 

Ca-ra-ka sendiri pengertiannya adalah memuliakan Allah. Sebab tanpa ada bawana seisinya, apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada sebutan Asma Allah. Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan disebut Hana. Sementara makna Da-ta-sa-wa-la dapat dijelaskan maknanya sebagai berikut. Adanya yang ada (anane dumadi) sumber asalnya adalah Satu, yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus (agal lan alus), wingit (penuh misteri) dan gha’ib, pasti pada dirinya melekat setidaknya secercah Dzat Allah (kadunungan sapletheking Dzat Allah). Artinya, pancaran kun fayakun itu tidak hanya mencipta bawana seisinya, namun terus-menerus memancarkan kasih, mencermati dan meliputi terhadap seluruh kehidupan (ngesihi, nyamadi lan nglimputi sakabehing dumadi). 

Allah menciptakan bawana seisinya, khususnya dalam menciptakan manusia, bukan tanpa rencana, namun dengan keinginan dan tujuan yang nyata dan pasti. Titah Allah tidak dapat diingkari dari apa yang sudah ditetapkan menjadi kodrat (pepesthen). Demikian juga seluruh makhluk hidup di dunia (saobah-mosiking dumadi) pasti terkena keterbatasan dan pembatasan (wates lan winates), seperti halnya sakit dan kematian. Namun selain itu, juga melekat dalam dirinya (kadunungan) kelebihan satu dari yang lain, saling ketergantungan, lebih melebihi (punjul-pinunjulan) dan saling hidup-menghidupi (urip-inguripan). Baik dalam rupa, wujud, warna dan sosoknya (balegere dumadi), manusia dapat dikatakan sempurna tiada yang melebihi (kasampurnaning manungsa). 

Terciptanya manusia yang ditakdirkan (pinesthi) menjadi Wali Allah, menandakan bahwa hanya sosok manusia sajalah yang mampu menjadi Warangka Dalem Yang Maha Esa (wakil Tuhan di dunia). Kelahiran manusia dalam wujud raga-fisik dan bentuk badan itu merupakan sari-patining bawana. Maka, menjadi keniscayaan jika manusia mampu menggunakan dayanya guna mengungkap rahasia alam. Kelahiran hidup manusia, merupakan wujud dari sukma, yang dalam proses mengada dan menjadi (being and becoming) terbentuk dari sari-pati terpancarnya Dzat Allah (dumadi saka sari-pati pletheking Dzat Allah). 

Oleh sebab itu, manusia mampu mengkaji dan menelusuri, menggali dan mencari serta meyakini dan mengimani adanya Allah (nguladi, ngupadi, ngyakini lan ngimani marang kasunyataning Allah), sebab sukma sejati manusia itu berasal dari Sana (sabab suksma sajatining manungsa asale saka Kana). Selanjutnya Pa-dha-ja-ya-nya, maknanya bahwa sawenehing kang dumadi atau apa pun dan siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab ia akan senantiasa menjalani hidup dan kehidupan bersama, sebagaimana keniscayaan fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. 

Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas. Jika seluruh anggota badan makarti semua, baru disebut urip kang sejati. Daya hidup (sang gesang) akan melekat (built-in) pada setiap diri-pribadi seseorang, yaitu rupa, wujud berikut segala tingkah-lakunya. Dapat dikatakan daya hidup akan luluh pada dirinya (sing kadunungan). 

Semua yang berwujud dan hidup pasti bakal tarik- enarik, saling bersinergi (daya-dinayan), sehingga menimbulkan daya-daya, seperti: daya adem-panas, positif-negatif, luhur-asor, padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti (cakra manggilingan). Semua inti dari interaksi tersebut ada pada diri manusia, di mana inti tadi sebenarnya telah terserap dari badan manusia sendiri. Maka dapat disimpulkan, bahwa obah-mosiking jagat/alam, juga terjadi pada obah-mosiking manungsa secara pribadi. 

Di mana ketika terjadi gonjang-ganjinging jagat/ alam, kejadian pada manusia juga demikian adanya. Ketika manusia bertingkah-laku angkara-murka, merusak dan sebagainya, jagat/alam juga berada dalam ancaman bahaya, misalnya musibah banjir, lahar, tanah longsor, banyaknya kecelakaan dan sebagainya. Makanya, manusia harus selalu ingat akan kewajiban pokoknya, yaitu: Hamemayu-Hayuning Bawana. Artinya, kanthi adhedhasar sarana sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu sebetulnya manusia dapat nyidhem atau menghindari kerusakan alam semesta, selain juga bisa nyirep dahuruning praja (memadamkan kerusuhan negara). 

Ikatan manusia dengan Allah Swt., berupa keyakinan dan kepercayaan yangdiwujudkan dalam panembah lan pangesti seperti ditulis dalam tuntunan kalam, yang disebut agama, mewajibkan manusia manembah (sembahyang, samadi) hanya tertuju kepada Yang Satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ketika manusia manembah melalui sembah rasa, harus dengan seluruh sukma (roh, moral) kita, bukan badan raga yang penuh dengan kotoran (nafsu duniawi). Sebetulnya sembah raga itu hanya sarengating lahir, agar supaya umat manusia taat dan manembah marang Gusti Kang Murbeng Dumadi. 

Manusia itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka manusia harus menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu, manusia harus bisa menempatkan diri pada citra keTuhanannya. Allah telah menciptakan apa saja untuk manusia, jagat sak isine, tinggal bagaimana manusia bekti marang Allah Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar tanggung jawabnya marang Kang Maha Kuasa, sebab bawana beserta seluruh isinya adalah menjadi tanggung jawab manusia. Yang terakhir, Ma-ga-ba-tha-nga dapat dijelaskan maknanya, kurang-lebih sebagai berikut. 

Manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa kang manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan rasaning Allah luluh pada sukma manusia. Jagat (alam) tergantung pada sejarah umat manusia yang disebut awal dan akhir, juga menjadikannya jantraning manungsa. Hakikatnya gelaring alam/jagat itu, juga gelaring manungsa. Jadi di dunia ini ora bakal ana lelakon, ora ana samubarang kalir, kalau tidak ada gerak kridhaning manungsa. 

Setelah ada manusia, sakabehing wewadi, sakabehing kang siningit lan sinengker wus kabukak wadine –semua telah jelas, semua telah menjadi nyata. 

Wis ora dadi wadi, amerga wis tinarbuka; 
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak; 
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan. 

Artinya, kalau semua sudah kamanungsan/konangan —kalau semua telah menjadi kenyataan— berarti tugas kewajiban manusia di dunia telah selesai. Sudah sampai pada perjanjian pribadining manungsa dan sudah titi mangsa harus pulang marang pangayuning Pangeran. Dari tidak ada menjadi ada (ora ana dadi ana) menjadi tidak ada lagi (ora ana maneh). Artinya, sakabehing dumadi yen wis tumekaning wates kodrate, mesti bakal mulih marang mula-mulanira lan sirna. Awal-akhire, artinya sangkan paraning dumadi wis khatam/tamat. 

Kalau umat manusia sudah tidak ada lagi -kang dadi asmaning Allah-juga tidak akan disebut (kaweca), ana. Demikianlah, kurang lebih hasil perenungan saya selama ini dalam menggali makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Aji Saka: “Ha-na-ca-ra-ka”. Betapa pun kita mengagungkan ke-adiluhung-an karya sastra Jawa, seperti Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, atau pun filsafat Ha-na-ca-ra-ka, apabila tanpa penghayatan dan meresapi nilai-nilai substansial yang terkandung di dalamnya serta usaha mengembangkannya, tentulah tidak akan bermakna bagi kehidupan sastra Jawa masa kini dan masa depan, apalagi terhadap budaya Indonesia Baru yang harus kita bangun. 

Sastra Jawa mengandung wulang-wuruk kejawen, yang jika dilakukan penelitian lebih suntuk akan bisa digali ajaran kehidupan yang mampu memberi pencerahan pikir dan rasa untuk direnungkan di malam hari. Kesemuanya itu seakan meneguhkan makna peninggalan Aji Saka yang diungkapkan Sri Susuhunan Paku Buwono IX dalam tembang Kinanthi: “… Nora kurang wulang-wuruk, tumrape wong tanah Jawi. Laku-lakuning ngagesang, lamun gelem anglakoni. Tegese aksara Jawa iku guru kang sejati”.
Read more >>

Pudhak Sategal Sinumpet

Ungkapan yang sangat popular dalam kehidupan orang Jawa sejak dahulu yaitu ”Wong Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis” yang berarti “Orang Jawa menyukai sesuatu yang semu, disamarkan dengan perlambang, diwujudkan dalam keindahan“. Semu berarti tersamar atau tidak tampak jelas. Ungkapan ini menunjukkan sifat orang Jawa yang dalam menyampaikan gagasan kepada orang lain umumnya tidak secara langsung atau secara tegas lugas. 

Pandangan hidup, nasehat dan ajaran-ajaran dalam kehidupan orang Jawa, merupakan hasil olah rasa berbudaya. Rasa budaya yang tidak dapat dinyatakan dalam komunikasi pergaulan sehari-hari, sering dinyatakan dalam bentuk simbol. Dalam kehidupan sehari-hari dijumpai penggunaan simbol-simbol sebagai pengungkapan rasa budaya pada suatu karya seni, seperti: pakaian, kain batik, upacara, ukiran, arsitektur dan senjata. Simbol-simbol pada suatu karya seni diharapkan dapat digunakan sebagai sarana komunikasi atau media untuk menitipkan pesan, nasehat atau ajaran bagi keluarga, masyarakat maupun generasi selanjutnya menuju peradaban luhur. 

Tidak ada rumusan maupun ukuran timbangan yang pasti, dalam mengungkapkan simbol-simbol, bahkan setiap pernyataan yang muncul dapat dianggap sebagai suatu pengkayaan makna, sepanjang masih selaras dengan maksud utamanya. Upaya mencari makna setiap simbol merupakan usaha untuk merawat sebagian dari budaya, agar memberikan arti yang sesungguhnya (esensi budaya). 

Dalam seni keris, salah satu simbol yang sangat menarik untuk dikaji dan diuraikan maknanya yaitu ricikan Pudhak Sategal. Pudhak Sategal Pudhak Sategal merupakan nama dari ricikan Keris yang terletak di bagian sor-soran di tepi bilah. Bentuk ricikan ini menyerupai daun Pudhak (Pandan) dengan ujungnya yang meruncing. 

Bentuk pola ini, untuk bagian belakang keris pangkal daun dimulai dari sisi tepi bagian bawah sor-soran kemudian meruncing ke atas, kurang lebih sejajar dengan panjang sogokan. Sedangkan untuk bagian depan, pangkal daun dimulai dari atas gandik. Menurut Serat Centhini, sekar Dhandhanggula, bait ke 24-28 (1992:75) Pudhak Sategal merupakan dapur keris yang mempunyai luk 5 dengan ricikan kembang kacang, sogokan dan sraweyan yang diputus bagian bawah. Sehingga, pola Pudhak Sategal merupakan sraweyan yang dibentuk menyerupai daun Pudhak. 

Ricikan Pudhak Sategal baru ada setelah Jaman Mataram Akhir dan popular pada jaman Surakarta. Keris tangguh Tua seperti tangguh Majapahit, Blambangan, Tuban dan Madura Tua tidak ada yang memakai ricikan Pudhak Sategal. Apakah ricikan Pudhak Sategal merupakan pengganti atau terinspirasi pola Kinatah Kamarogan yang populer di jaman Mataram Sultan Agung? Ataukah, sebagai simbol cita-cita Panembahan Senopati saat berupaya mengembalikan kejayaan kerajaan Mataram dengan konsep “ganda arum”? Kata Mataram jika di jarwa dhosok-kan berasal dari kata Mata Arum yang berarti sumber keharuman. Konsep pemerintahan yang berdasar hati-nurani yang memberikan manfaat dan kemakmuran pada rakyat dan lingkungannya serta memberikan keharuman sepanjang masa. 

Belum ada catatan tertulis atau penelitian yang memastikan demikian dan tentu, masih memerlukan penelitian untuk pembuktian lebih lanjut. Pudhak Sategal merupakan ricikan keris seperti halnya dengan ricikan lain yang terdapat pada sebilah keris, antara lain : gandik, sogokan, tikel alis, pijetan dan kembang kacang. Pembuatan setiap ricikan oleh empu pada keris selain mempunyai tujuan fungsional, juga memuat makna filosofis. Bentuk ricikan pudhak sategal pada bilah keris memang mirip dengan daun pandan/pudhak yang jika tampak dari depan, terlihat menyembul di kiri-kanan pohon dengan bentuk meruncing ke atas. 

Mengapa para pujangga/empu memilih pudhak sebagai simbol ajaran pada karyanya? Sebenarnya banyak pola yang serupa dengan daun pandan/pudhak yang meruncing misalnya: gading gajah, tanduk banteng, cula badak dan taring macan. Bentuk-bentuk tersebut mirip satu dengan lainnya, tapi mungkin saja kurang mempunyai makna yang mendalam dan kurang akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Empu Keris jaman dahulu memberikan gambaran pada kita, bahwa mereka merupakan pekerja seni sekaligus spiritualis. Mereka mempunyai kesanggupan untuk memberikan tema universal yang menyangkut kehidupan sehari-hari manusia pada setiap karya mereka. Mereka menjadikan Keris menjadi suatu media introspeksi diri terhadap nilai-nilai humanis dan spiritual. 

Pandan atau Pudhak Pandan (Pandanaceae) merupakan tumbuhan yang sangat lekat dengan kehidupan orang Jawa sejak jaman kuno. Daun pandan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai pewarna makanan, penyedap masakan, sebagai obat, tikar, kosmetik, sarana upacara, maupun sebagai bahan pememeliharaan batik. Masyarakat banyak memanfaatkan pohon pandan dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk daun pandan menghadap ke atas meruncing diujung dan sering melingkar di sebatang pohon, sehingga tampak dari depan mencuat di kiri dan kanan. 

Bunga pohon pandan dinamakan Pudhak, namun daun pandan sendiri sering disebut Pudhak. Pudhak merupakan bunga yang mempunyai aroma harum lembut (tidak menyengat) selama berhari-hari dan menebar aroma harum menjelang sore hari. Tumbuhan ini mudah hidup tanpa pemeliharaan khusus dan banyak ditanam dipekarangan atau ladang maupun sebagai tanaman pagar. Bagi para pujangga/empu jaman kuno, sifat dan manfaat dari Pudhak sangat menarik untuk diabadikan pada karyanya. Mereka berusaha untuk menghayati peranan alam bagi manusia atau sebaliknya. Mereka banyak belajar dan mengambil sesuatu dari alam sekitar sebagai bagian dari ajaran hidup yang bernuansa religi. 

Simbolisasi Pudhak pada bagian dari Keris merupakan jalan menuju pengalaman spiritual yang menumbuhkan kesadaran hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Para Empu membuka kesadaran manusia untuk selalu mengagumi alam, kemudian mengagumi sang Pencipta. Mereka berusaha mengabadikan dasar-dasar religius alam semesta pada hasil karya teknologi dan budaya untuk meningkatkan kualitas spiritual. Memberi Tanpa Diminta Pohon pandan merupakan pohon perdu yang banyak tumbuh dan dijumpai dipekarangan maupun dipinggir jalan pedesaan. Sekalipun tampak tidak berguna, pohon ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Daunnya dapat digunakan sebagai tikar, perwarna alami dan menambah aroma pada makanan, bahkan sebagai obat. 

Demikianlah, dalam kehidupan ini apakah hidup kita telah memberikan manfaat dan warna bagi orang lain, seperti daun pandan. Bukan sebaliknya seperti ”benalu”, justru merugikan dan membebani orang lain. Ada piwulang Jawa yang mengatakan “urip iku kudu migunani tumraping liyan” yang berarti “hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain”. Sebaik-baiknya orang yaitu yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Sangat berbeda kehidupan modern yang jauh dari nilai-nilai tradisi. Hubungan antar manusia lebih banyak dihitung sejauh menguntungkan atau merugikan secara material. 

Kepuasan secara material, akan mengikat manusia pada kebudayaan pasar yang umumnya akan berdampak terhadap pemerosotan esensi budaya yang berorientasi spiritual. Terkadang kita merasa belum cukup untuk berbuat baik bagi orang lain, karena secara materi belum mampu atau merasa bahwa perbuatan kita tidak akan berdampak banyak bagi orang yang membutuhkan. Menjadi orang yang berguna bagi orang lain tidak harus selalu memberi sesuatu hal yang sifatnya materi (harta/uang). Tenaga, pengetahuan, nasehat, perbuatan yang baik, menentreramkan dan perhatian merupakan bantuan moril yang dapat kita berikan selain materi. Setiap saat kita dapat berguna dan bermanfaat bagi orang lain, asal kita ada keikhlasan hati untuk beramal (Jawa: Sepi Ing Pamrih). 

Dengan segala keterbatasan yang kita miliki, sedikit kebaikan yang mampu kita berikan akan memberikan manfaat dan makna yang besar bagi orang lain. Di hadapan Tuhan, bantuan yang diberikan kepada orang lain tidak dilihat dari jumlahnya. Bobot suatu amal tergantung dari usaha yang kita lakukan dan keikhlasan hati. Pohon Pandan memberikan manfaat dan makna pada kehidupan manusia tanpa harus menunggu menjadi pohon Kelapa. Pohon pandan sangat memikat bagi para pencari spiritual, ia memberi manfaat bagi kehidupan tanpa diminta. Memberi bukan berarti kehilangan kepemilikan, akan tetapi merupakan pengungkapan perhatian manusia untuk mencintai kehidupan. 

Sehingga, memberi dan berkorban merupakan ekspresi paling tinggi dari suatu kemampuan. Maka, sekecil apapun kebaikan yang kita berikan, dapat besar artinya orang lain, berguna bagi sesama akan membuat hidup lebih bermakna. Keselarasan Hidup Daun Pandan tumbuh simetris-seimbang mengelilingi batang pohonnya dan menjulang ke atas. Daun pandan memberikan gambaran mengenai keharmonisan atau keselarasan. Pandangan Jawa mengenai keharmonisan atau keselarasan bagi sesama (sosial) dan lingkungannya (alam) menjadi suatu hal yang penting. 

Pandangan ini bukanlah sesuatu pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usahanya menghadapi masalah kehidupan. Leluhur menyadari betul, bahwa mereka merupakan bagian dan fungsi dari alam, sehingga bahasa alam merupakan rujukan dalam menjalani kehidupannya. Dalam kehidupan ini, orang perlu menciptakan suasana ketentraman, ketenangan, dan keseimbangan batin pada dirinya maupun bagi sesamanya. Hal tersebut terwujud dengan menciptakan kerukunan, sikap hormat dan menghindari konflik. 

Dengan demikian, dalam kehidupan orang hendaknya selalu berusaha menjaga keselarasan sosial, bersikap menyesuaikan diri, bersikap sopan santun, dan mewujudkan kerja sama, serta bersikap menghormati kepada orang lain. Hal tersebut memposisikan akal dan rasa dalam diri secara seimbang untuk mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan. Menebar Keharuman Pudhak Sategal menggambarkan wangi yang terus menerus tiada henti (angambar-ambar ganda arum) dari ladang yang luas. 

Keharuman yang menebar memberikan rasa tenang dan meningkatkan kesabaran dan keheningan dalam berfikir dan bertindak. Keharuman memberikan rasa tenteram dan rasa menyenangkan bagi yang menciumnya. Orang hidup di dunia ini, hendaknya menebarkan aroma harum, seperti harumnya bunga pudhak. Harumnya nama baik manusia sepanjang masa dan selalu dikenang, hanya dapat diperoleh dengan perilaku nyata yang memberikan kebaikan terhadap sesama dan lingkungannya. 

Menebar aroma arum harus didasari ulat manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama. Ulat manis kang mantesi, yaitu bersikap ramah dan menyenangkan hati orang lain, menanggapi seseorang dilandasi dengan kebaikan hati. Ruming wicara kang mranani, yaitu setiap pembicaraan disampaikan dengan cara yang halus, menarik dan menentramkan hati orang lain, bukan sebaliknya justru membuat suasana menjadi gundah. Sinembuh laku utama, yaitu setiap perbuatan dilandasi dengan keikhlasan dan perilaku yang baik (laku utama). Dengan demikian, diharapkan dapat membuat orang menebarkan keharuman (kebaikan) hidupnya bagi orang lain. 

Kesimpulan Pudhak Sategal merupakan simbol dari bunga pandan (pudhak) satu ladang. Bunga pandan satu ladang yang jumlahnya sangat banyak, memberikan keharuman yang tiada habisnya bagi lingkungannya. Meskipun berlimpah, tetapi tidak menganggu, karena justru keharumannya menyenangkan dan menenteramkan. Daun-daun pandan tersusun secara harmonis melingkari batang pohonnya, terlihat selaras dan seimbang. Daun Pandan memberi warna dan aroma pada berbagai jenis makanan. 

Penamaan Pudhak/Pandan sebagai ricikan keris merupakan manifestasi dari besarnya manfaat bagi kehidupan manusia. Penggambaran Pudhak pada sebilah keris karena sarat dengan makna dan ajaran-ajaran hidup bagi manusia. Dalam menjalani kehidupan, orang mencapai keutamaan apabila bermanfaat, menyenangkan, menjaga keselarasan dan menentreramkan bagi orang lain dan lingkungannya. Pudhak Sategal memberikan makna bahwa dalam kehidupan, banyaklah berbuat kebaikan agar jati diri menebar harum dan dikenang sepanjang masa.
Read more >>

Sabda Tunggal Tanpa Lawan

Apa arti kata “ Sabda Tunggal ” itu? “ Sabda Tunggal ” merupakan dua patah kata yang dirangkaikan menjadi satu kata sebut, yaitu dari kata “ Sabda ” dan kata “ Tunggal ”. adapun kata SABDA dalam ilmu bahasa disebut nomina atau kata benda, bermakna: kata, perkataan, suara, ucapan, titah, ka­lam, atau firman ( gunem, swara, dhawuh pangendika, tetem­bungan ). Kata TUNGGAL merupakan kata bilangan, bermakna: satu-satunya, tiada duanya, bukan jamak, utuh, bulat, atau menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ( awor dadi siji utawa padha jenise ).

Dengan demikian, makna dari kata sebut “ Sabda Tunggal ” yang terukir dalam pustaka jati itu dapat diartikan: satu titah, satu kalam, satu perkataan, atau satu firman TUHAN sejak zaman dahulu kala hingga sekarang keadaannya tetap, sama dan sebangun, tidak berubah, dan hanya satu-satunya yang bersifat abadi.

Mantra Afirmasi Sabda Tunggal ;

INGSUN tajallining dzat kang moho suci , kang amurbo amiseso , sak kuwoso angandiko KUN FAYAKUN , dadiyo sak cipta ning-sun , ono sak sedya ning-sun , teko sak karsa ning-sun , metu soko kodrat ing-sun , .....  cipto wekasing roso sabdo tunggal tanpo lawan ... KUN sholli ala Muhammad KUNI Muhammadan .....

Siapakah gerangan yang menyampaikan sabda tadi? ( Sinten ba­ya ingkang paring sabda pangendika punika wau? ) ....  Sang Guru Sejati mem­beri jawaban : .... “ Aku, Suksma Sejati, yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya, bersinggasana di sega­la sifat hidup. Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Pa­nutan, Penuntun, Guru kamu yang sejati ialah Gurunya Jagat ”.....  ( Ingsun Suksma Sejati, kang nguripi sagung dumadi, jumeneng ing kabeh sipat urip. Ingsun Utusaning Pangeran kang langgeng, kang dadi Panutan, Panuntun, Gurunira kang Sejati, iya Guru­ning Jagat ).

Dengan demikian, sejak awal Sang Sabda telah mem­per­kenalkan diri sebagai Suksma Sejati, Utusan Tuhan yang abadi, Panutan-Penuntun-Guru sejati sekalian umat-Guru­nya Jagat, yang bertahta di segala sipat hidup, dan yang menghidupi selu­ruh semesta alam seisinya.

Sabda Tunggal adalah Pangandika­ning Allah yang berisi Petunjuk Rahayu yang me­muat berbagai kebijaksanaan dan berintikan syaha­dat tauhid sebagai bakuning piandel atau bebundelaning tekad.

Sang Sabda itu disebut pula Sejatining Muhammad, Nur Dat Allah, Sejatining Rasul Allah, Sejatining Utusan Kang Langgeng, Cahya Kang Pinuji, Sipating Pangeran Kang Kababar/Gumelar, Suksma Sejati, Guru Sejati, Guru Jagat, Kang pra­bane tan kena kinaya ngapa, rumesep ing dalem kaanan tunggal, kang dadi pusere urip saka pirang-pirang cahya iman ( piandel ), kang sumimpen ing telenging ati suci, Sang Pepadang, Cahyaning Pangeran.

Terbabarnya Sabda Abadi, yaitu Sabda Tuhan yang menjadi peraturan baku atau intisari petunjuk rahayu yang benar, kepada para hamba dan semua makhluk-Nya ... yang sejak dahulu kala sudah tetap ajeg seperti itu hingga sampai sekarang dan kelak hingga kapan pun tidak akan pernah berubah. Sebab Tuhan Sejati ( Allah Ta'ala ) itu hanya satu, meskipun terbabarnya dalam kata-kata ( bahasa ) di dunia berbeda-beda, tetapi maknanya ( hakikatnya ) tetap sama saja dengan Sabda yang telah jauh di masa silam.

Barang siapa yang ingin bertemu dengan Sang Sabda yakni Suksma Sejati di mahligai suci, ing telenging batosipun piyambak-piyambak, iya ana ing telenging sa­nu­barine, iya kang sumimpen ing telenging ati suci”. Sang Sabda, ya Sang Guru Sejati, bersinggasana di pusat hati sanubari, di dalam kalbu mukmin baitullah. 

Siapa pun yang dapat sampai ke pusat hati sanubari-Nya, yang dapat mengalihkan titik berat kesadarannya ke dalam kalbu mukmin-Nya, dijamin dapat bertunggal dengan Sang Sabda. Sang Sabda hanya Satu, Esa, Tunggal, tiada duanya, bersifat Abadi, kekal, langgeng, tetap tidak berubah berganti, suci, penuh kasih, dan juga adil.
Read more >>