Posts Subscribe to InFoGauL Comments

Makna Pada Rincikan Keris

Kakang Mpu Ngeksiganda nguni wus wedar pitutur dawuhipun sang linuhung Kanjeng Suhunan Kalijaga bab kanang dhuwung, prabot, dapur, busana makna murad rahsanipun ... Ini adalah ajaran Sunan Kalijaga jadi lebih ada nuansa Islam dalam pemaknaan-nya : Istilah makna berarti makna, arti dan maksud. Murad menurut kamus berarti keterangan arti. Sedang rahsa berarti rahasia. Dalam pengartian umum rahsa sering diartikan sebagai air Mani.
  • Pinurwa kang aran Ganja punika kang luwih luhur satuhu-tuhune amung Allah Subhanahu Wa Ta'ala Tutuping Allah njeng Rasul, Nabi nayakeng bawane kakasihira Hyang Agung , Mangka nglahiraken tandhanya Gusti lan kawulanipun Loro-lorone sawujud lamun ingaran satunggal lan kekalih estunipun . Ganja,hanya Allah Subhana Wa Ta'ala paling luhur, kanjeng Rasul tutupnya Allah ( nabi penutup ), nabi pemimpin dunia serta kekasih Hyang Agung. Keduanya merupakan tanda ( keberadaan ) Gusti dan Kawulanya. Keduanya satu wujud. Disebut satu tapi sebenarnya dua. Disebut dua nyatanya satu.
  • Sirah Cecak kang winarna satuhune Baetal Makmur , sirahe manungsa niku werdine sasana nira parameyan wijilipun sipat eling-e manungsa. Sirah cecak : adalah Baetal Makmur atau kepala manusia.Artinya, situlah asal mula segala kesenangan dan ingatan manusia. 
  • Tikel Alis ginupita nepsu tri prakara estu , Darana ingkang rumuhun mila ingkang kalihira maklum kaping tiganipun yeku Nepsuning kang manah Maknawi - Suci - Rayahu . Tikel Alis : mengiaskan tiga nafsu hati agar suci dan selamat ( rahayu ), yakni sabar,rela dan maklum.
  • Sekar kacang maknane Gunung Tursina satuhu kang ngawruhi lakunipun lumebu metuning napas kang ana irung, dadya tanda-ning kawula kelawan Gusti.  Sekar Kacang : artinya Gunung Tursina yang mengetahui keluar masuknya nafas melalui hidung, merupakan tanda adanya Kawula dan Gusti. 
  • Lambe Gajah kang winarni sejatinipun Lesan kita satuhu Insan Kamil dunungira pangandikaning Hyang Agung asipat rupa sanyata yeku sabda " Kun Fayakun " . Lambe Gajah : sebenarnya mulut kita, merupakan tempatnya 1nsan Kamil, tempat pengucapan Hyang Agung menjadi kenyataan, yaitu sabda Kun Fayakun. 
  • Mangkya Greneng wujudira Aksara DHA - DHA satuhu myang aksara MA punika Werdine panggonan pejah sa'jeroning dadani-reku mokal kalamun medal ngauripi kalamun lampus. Greneng : berupa huruf (Jawa) DHA , Greneng : berupa huruf MA, artinya di-DHADHA-lah tempatnya MA-ti (kematian), mustahil jika mati mengeluarkan hidup. 
  • Gandik tegesira punika woting jejantung ingkang kawasa satuhu mahanani lan dumadiya ing careming manungseku datan liyan asalira yekti saking jantung punika. Gandik : artinya titian jantung yang mampu menimbulkan lahirnya napsu birahi manusia 
  • Sogokan ingkang winarna manjing purusing jameku ambuka warananipun punang hawa nawa sanga , tingal , karna , lawan irung , tutuk , tanapi jaleran , kanang sulbi jangkep-ipun . Sogokan : artinya di dalam purus ( sumbu tiang ) manusia mampu membuka tabir 9 lubang hawa nafsu, yaitu : mata (2) , telinga (2), hidung (2), mulut (l), zakar (l) dan rahim ( kemaluan wanita ). 
  • Bawang sabungkul winarna baga purana satuhu Baetal Mukadas pinuka omah eng-goning pasucen. Bawang sebungkul mengiaskan kemaluan wanita ( rahim ), yakni tempatnya Baetal Mukadas atau tempat pesucian manusia. 
  • Sraweyan gantya winuwus iku werdine musibat kang karan sajati-nipun. Sraweyan : artinya musibah atau murka Tuhan. 
  • Kruwingan werdinira pawakan kita puniku kudu winangut aturut ingkang supaya prayoga . Kruwingan : maksudnya sosok tubuh kita agar selalu ditata dan dipatut yang baik supaya pantas( serasi ). 
  • Pasikutan kang cinatur werdi luwesing manungsa tandang kita aywa kidhung lawan kudu sumurupa pasemon liyanipun. Pasikutan : artinya keluwesan manusia, artinya tingkah laku kita hendaknya jangan kaku dan tanggap atas kias ( pasemon ) yang diberikan oleh orang lain. 
  • Mangkya pejetan cinatur iku driji jempol kita kang kawasa nyangga bakuh ing karya nglantari marang kauripan kita estu . Pejetan : artinya ibu jari kita yang mampu menyangga dengan kuat pekerjaan dalam penghidupan. 
  • Wadidhang ingkang winarna sikil kita wedaripun kang miseseng badan ulun gatya. Wadidang : maksudnya kaki kita yang menguasai tubuh kita. 
  • Tungkakan winarna,karep e manungsa estu pan ora kena kasoran lumuh asor kudu unggul. Tungkakan : maksudnya kemauan manusia itu tidak boleh kalah dengan kemauan yang mau menang sendiri. 
  • Kepet mangkya pinarceka talapakan kita iku pat-upat manungseku mangkya. Kepet : artinya telapakan kita sebagai tali cambuk manusia. 
  • Jalen werdinira, Urip kita kya kalimput tinartamtu mulih sira maring Hong kang jinarwa. Jalen : artinya hidup kita jangan sampai terpukau, kita pasti kemhali ke asalnya Tuhan.
  • Waja mangkya kang jinarwa iyeku aran babalung manjing kasantosan ingsun. Waja ( baja ) : adalah tulang yang memperkuat tubuh kita. 
  • Wesi iku daging kita sajrone ning donya-nipun . Wesi ( besi ) : artinya daging kita selama kita hidup di dunia. 
  • Serating wesi winarna manjing ing kulitan-nipun . Seratnya besi : artinya kulit kita.
  • Mangkya pamor ginupita iku otot bayuningsun sajatine cahaya Nur Buwah kang gumilang-gilang ana ing wadana mancur pratandhaning gesang kita suci trus wening satuhu . Pamor : artinya di dalam otot bayu kita memancar cahaya Nur Buwah, menandakan bahwa hidup kita bener-benar suci. 
  • Pesi ingkang tinarbuka apan puser werdinipun minangka kahanan tuhu ing tyas sanubari kita . Pesi : artinya pusar, merupakan keadaan dalam hati kita yang sebenarnya. 
  • Kodhokan pungkasanipun tandhaning pangrungu kita kang patang prakara gadug. Kodhokan : artinya pendengaran kita tentang 4 hal.

Pamor keris boleh rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan akan kita turunkan pada generasi selanjutnya .......

Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi tergantung kepada “ kadhewasaning Jiwa Jawi ” – kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya pengalaman rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris.

Pada mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris adalah alat berburu ( baca: mencari hidup ). Kemudian ketika manusia mulai menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk berperang ( baca : mempertahankan hidup ). Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata kehidupan ( baca: tuntunan hidup ). Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya. Hal ini sangat nyata ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan keris.

Ilmu keris adalah ilmu lambang. Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkan peradaban rasa ( sense ) – bukan melulu kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang.

Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan ( tumpeng, jenang, jajan pasar,dsb ), baju beskap, surjan, bentuk bangunan ( joglo, limas an, dsb ) termasuk juga keris.

Di dalam benda-benda sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.

Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata. Senjata bukan dilihat sebagai melulu wadag senjata ( tosan aji ) melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin.

Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran Tuhan. “ Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama ”. Tekadku menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas ( positive thinking ), berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan laku keutamaan.
Read more >>

Javana Dalam Sebilah Keris

Keris merupakan simbol pribadi, piyandel, sipat kandel, dan ini merupakan kepercayaan yang tidak bisa digugat dalam dunia perkerisan. Keris mempunyai makna dan isi, pertama-tama yang harus disadari adalah keris itu berisi piwulang-wewarah, nasehat untuk hidup dengan baik dan benar (harapan agar manusia menjadi arif dan bijaksana).

Keinginan manusia pada dasarnya hanyalah satu yaitu menuju Sang Pencipta, dan di dalam keris itulah diungkap filsafat “sangkan paraning dumadi” (asal manusia lahir dan kemana tujuan hidupnya), “sangkan paraning pambudi” (berupaya mencapai tujuan hidup dengan ilmu) atau “Manunggaling Kawula Gusti” (upaya menuju arah tujuan hidup). 

Oleh karenanya secara fisik keris menggambarkan dan menggoreskan harapan sekaligus nasehat agar manusia senantiasa bertindak dan bersikap seperti yang digambarkan oleh keris. Gambaran itu diadopsi di dalam dapur, pamor, juga racikan yang tertera dalam keris. Keris dengan luwes menggambarkan upaya/usaha manusia untuk menuju Sang Pencipta. Keris ada yang lurus dan ada yang lekuk hal ini menggambarkan suatu semangat “Teguh dalam niat, luwes dalam pelaksanaannya” artinya manusia diminta bijaksana dalam menjalani hidupnya, luwes dan tidak kaku. 

Ketajaman keris dimaksudkan bukan untuk perang melawan orang lain, tetapi untuk memerangi diri sendiri, keris bukan untuk membunuh tetapi digunakan untuk melindungi diri dimana hal ini sangat sulit untuk dipisahkan/dibedakan jika seseorang sangat ingin berkuasa, maksudnya adalah kemampuan untuk mengendalikan nafsu dalam diri sendiri. alu dimana letak magis keris ? Di dalam filsafat Jawa digoreskan “Bapa (wong tuwo) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah” maksudnya jika ayah (orang tua) hidup prihatin dan anak, cucu, cicit, dan canggah yang akan menerima kebahagiaan. 

Keprihatinan yang diwujudkan dalam benda yang pengerjaannya dilakukan oleh seorang Empu dengan bermati raga dan bertapa selama paling tidak 3 bulan tentu memberikan daya yang sangat kuat yang terekam di dalam mantra yang terpatri dalam godaman sang empu lewat pembakaran dan penempaan yang terus menerus dalam keprihatinan yang mendalam. 

Doa yang terlantun dari empu yang berupa mantra-mantra ibarat kaset yang diputar dan terekam di dalam keris dan tosan aji. Kaset itu bisa diputar balik apabila yang mempunyai keris tahu cara memutarnya. 

Oleh karena itu dalam dunia perkerisan ada laku/ritual yang harus ditempuh seseorang apabila hendak membeli keris. Membeli keris memang dengan uang, tetapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu dengan laku keprihatinan, laku yang sangat umum adalah ”Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembah laku utama” ( Hati yang baik yang selalu mengemuka, keharuman pembicaraan yang senantiasa menarik, ditambah laku keutamaan ). 

Tanpa laku itu keris tidak akan bermakna. Keris yang handal butuh laku yang handal pula, oleh karena itu meski kita mempunyai keris Gajah Mada sekalipun tanpa laku yang memadai keris itu tidak akan berguna, lantaran tidak bisa dihidupkan daya magisnya. Walaupun keris itu dalam eksoterinya kurang berkelas, tetapi jika disertai laku luhur pemiliknya, maka boleh jadi keris itu akan bermakna bagi hidup pemiliknya.

Inilah selintas pemahaman keris sebagai manifestasi “Jiwa Jawi” yang tidak sekedar bermuatan etnis Jawa, tetapi Jawa dalam arti Javana yaitu “ kearif-bijaksanaan ”.


Read more >>

Mencuci Dan Mewarangi Pusaka

Teknologi pembuatan keris adalah suatu teknologi pengolahan material peninggalan sejarah yang sangat tinggi nilainya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana para empu jaman dahulu menemukan cara pembuatan senjata dengan memanfaatkan sifat-sifat paduan logam yang berbeda. Menempanya berlapis sehingga menjadi satu kesatuan dalam bentuk senjata yang memiliki keunggulan sifat-sifat fisika sekaligus keindahan wujud yang memukau.Tidak juga pernah diketahui asal muasal penggunaan batu meteorit / batu pamor sebagai salah satu bahan pembuat keris. Yang jelas meteorit, yang banyak mengandung Titanium, Nikel, bahkan Uranium, tidak hanya berfungsi sebagai peningkat estetika saja, tetapi juga meningkatkan kualitas material keris.

Saat ini, keris telah diakui oleh UNESCO sebagai Adikarya Peninggalan Sejarah. Bangsa Melayu, dari Patani-Thailand sampai ke Sulawesi-Indonesia, sebagai pewaris adikarya kebudayaan tersebut, seharusnya berbangga atas pengakuan dunia internasional terhadap karya nenek moyangnya tersebut. Namun kebanggaan tersebut tentunya harus disertai usaha-usaha konservasi atas budaya dan bukti-bukti sejarahnya.Usaha konservasi atas budaya & bukti-bukti sejarahnya antara lain dapat dilakukan dengan mempelajari serta mengaplikasikan pengetahuan yang benar dan logis dalam merawat keris. Tidak hanya melaksanakan kebiasaan turun temurun yang kadang terkait dengan mitos-mitos dan ritus-ritus yang tidak logis dan malah dapat merusak fisik keris itu sendiri.

Memandikan dan mewarangi keris tidak dimaksudkan untuk menyembah atau mengagungkannya namun lebih kepada perawatan atas fisik benda bernilai sejarah tersebut dan melestarikan budaya atau cara tradisional dalam proses perawatan itu sendiri. Jadi suatu benda kuno menjadi pusaka bukan karena kekuatan supranaturalnya saja. Namun karena benda tersebut adalah peninggalan nenek moyang yang menjadi bukti sejarah, pencapaian dan kejayaan budaya bangsa kita di masa lalu. Sehingga menjadi suatu kebanggaan bangsa di masa kini.

Bukti tersebut patut dan wajib dilestarikan agar kita tidak kehilangan akar sejarah dan budaya sebagai suatu bangsa. Itulah yang dimaksudkan sebagai makna pusaka dalam konteks intelektual. Dalam budaya Jawa dikenal beberapa cara atau rangkaian upacara dalam rangka mencuci dan mewarangi pusaka. Ada yang sederhana, ada pula yang penuh dengan rangkaian ritus yang diperlengkap dengan puluhan macam sesajen seperti yang dilaksanakan oleh pihak kraton Solo dan Jogja setiap bulan Suro (Muharram).

Yang akan diuraikan di bawah ini adalah cara mencuci dan mewarangi keris secara tradisional. Namun hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat krusial dan fungsional saja. Tidak yang bersifat simbolik atau bernuansa supranatural.

Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut,

1. Lepaskan keris dari warangka dan ukirannya , untuk melepaskan pesi dari ukiran, putar ukiran ke arah yang lebih ringan putarannya sambil ditarik / dicabut.

2. Rendam keris dengan air kelapa hijau semalaman lalu bilas dengan air sampai bersih Saat merendam keris pastikan seluruh bagiannya terendam air kelapa. Air Kelapa Hijau bersifat asam lemah dan bermanfaat untuk melepaskan kotoran, kerak, dan mempermudah lepasnya karat yang terbentuk dipermukaan keris. Karena sifat asamnya yang lemah diperlukan perendaman semalaman agar betul2 meresap dan dapat melepaskan kotoran terutama yang terdapat di pori2 logam. Sifat itu pula yang membuatnya relatif aman untuk keris.

3. Gosok permukaan keris dengan irisan jeruk nipis sampai bersih / putih mengkilap Menggosoknya jangan terlalu keras / kasar. Dapat pula digosok menggunakan sikat gigi yang halus dengan arah gosokan searah bila ada kerak / karat yang membandel. Boleh juga ditambah air perasan buah pace / mengkudu yang sudah matang. Lalu bilas dengan air bersih yang mengalir.

Jeruk Nipis sifat asamnya agak kuat, persentuhan dengan logam keris dalam jangka waktu yang lama dapat merusak logam keris. Digunakan untuk membersihkan keris dari karat, buah jeruk nipis diiris 4-6 bagian dan digosok2 pada permukaan keris. Hasilnya kotoran dan karat akan terlepas dan permukaan keris akan kelihatan putih mengilap. Proses ini disebut Mutihke’.

Air Perasan Buah Pace fungsinya hampir sama seperti air perasan jeruk nipis, namun karena airnya lebih banyak membuat pengerjaan lebih mudah. Teksturnya yang lunak membuatnya mudah hancur bila digosok2kan ke permukaan logam sehingga fungsi jeruk nipis tak tergantikan sepenuhnya.

4. Cuci keris sampai bersih dengan buah lerak / sabun lerak  saat mencuci, gosok keris perlahan dan searah dengan sikat gigi yang halus. Bila ada kotoran di celah2nya, congkel dengan tusuk gigi. Bilas dengan air bersih sampai kotoran2 (ampas jeruk dan pace) hilang. Bila kotoran2 yang bersifat asam itu sampai tertinggal maka dapat merusak keris karena bersifat korosif.

Buah Lerak berfungsi sebagai sabun alami yang lembut dan tidak merusak besi, tidak seperti detergen yang bersifat keras. Saat ini banyak dijual sabun lerak cair siap pakai sebagai sabun pencuci batik tulis namun bila ingin menggunakannya, pilih yang tidak diberi campuran zat kimia tambahan.

5. Keringkan sampai betul2 kering dengan menekan2 bilah keris dengan kain bersih
Boleh diusap lembut dengan kain bersih yang menyerap air. Dalam proses mengeringkan, keris jangan sampai terkena tangan telanjang lagi. Karena minyak / lemak yang ada ditangan dapat menempel di bilah keris yang sudah bersih dan menimbulkan karat.

6. Olesi keris dengan cairan warangan menggunakan kuas secara tipis dan merata (prosesnya disebut Marangi)

Warangan adalah hasil tambang yang berbentuk kristal dan secara alamiah mengandung arsenikum dalam kadar relatif rendah. Warangan terbaik yang dikenal berasal dari Tiongkok. Pada masa dahulu kala banyak digunakan untuk racun tikus. Arsenikum murni dikenal sebagai zat beracun yang dapat mematikan. Namun beberapa obat2an tertentu ada yang mengandung arsenikum dengan persentase yang rendah. Dengan demikian tidak hanya sebagai racun, arsenikum juga memiliki manfaat sebagai obat dalam kadar dan pada persenyawaan dengan zat, tertentu. Fungsi cairan warangan adalah untuk menciptakan reaksi kimia antara besi dan larutan warangan pada permukaan bilah. 

Reaksi tersebut menghasilkan senyawa oksida besi - arsenik berupa lapisan tipis yang berfungsi sebagai anti karat pada permukaan bilah keris. Selain sebagai anti karat, lapisan tersebut juga menimbulkan warna kontras yang indah pada permukaan bilah. Hal ini disebabkan reaksi kimia hanya terjadi pada bagian bilah yang mengandung besi. Gelap terangnya permukaan suatu logam akibat reaksi tersebut tergantung dari tingginya kandungan besi dalam logam tersebut. 

Seperti diketahui keris, tombak, dan pedang yang berkualitas baik biasanya dibuat dari minimum 3 jenis lempengan besi-baja ditambah 1 lempengan nikel atau meteorit (berkadar besi sangat rendah atau bahkan tidak mengandung besi) yang ditempa berlapis lipat berulang kali menjadi satu kesatuan (nglereh). Akibatnya lipatan2 besi yang berbeda komposisi kimianya memunculkan kontras yang berbeda setelah pewarangan. Sedangkan garis2 lipatan nikel / meteorit yang tidak bereaksi terhadap warangan menimbulkan garis2 putih yang kadang mengkilap seperti krom. Kesemuanya itu membentuk gambaran / pola pada permukaan keris yang dikenal sebagai Pamor.

Marangi keris tidak dimaksudkan untuk meracuni bilah keris tersebut sehingga akan mematikan bila tergores olehnya. Persentase arsenikum dalam kristal warangan relatif rendah, apalagi dalam aplikasinya kristal warangan dilarutkan dahulu dalam air perasan jeruk nipis yang banyak sekali (+/- 1gr serbuk warangan dalam 250ml air perasan jeruk nipis). Dengan demikian kadar arsenikum yang akan menempel di bilah keris rendah sekali kadarnya. Walaupun demikian kehati-hatian dalam menangani sebilah keris tetaplah diperlukan.

Pada jaman dahulu memang dikenal cara-cara untuk memasukkan racun dalam keris. Utamanya bila keris tersebut memang dirancang dan dibuat untuk digunakan dalam peperangan. Hal ini dimungkinkan karena permukaan logam keris berpori sehingga mampu menyerap racun. Biasanya proses memasukkan racun ke dalam keris hanya dilakukan pada saat keris masih dalam proses pembuatan. Yaitu pada tahap paling akhir yang disebut penyepuhan atau dalam istilah metalurgi dikenal dengan quenching. Proses penyepuhan dilakukan dengan memanaskan ulang keris, yang sudah jadi bentuk fisiknya, sampai membara (namun tidak sampai berpijar) lalu dicelupkan dalam bumbung bambu berisi minyak kelapa.

Memasukkan racun dalam keris saat penyepuhan (nyepuh wisa) dilakukan dengan mencampur minyak kelapa yang digunakan sebagai media pencelupan dengan ramuan racun yang mengandung bisa ular atau serangga beracun. Namun menggunakan senjata beracun, baik jaman dahulu maupun sekarang, dianggap sebagai tindakan yang tidak ksatria dan pengecut. 

Dalam mempersiapkan cairan warangan, pilihlah serbuk / gumpalan kristal warangan alami yang berwarna ungu tua kemerahan. Tumbuk sampai halus sekali lalu larutkan dalam air perasan jeruk nipis murni yang sudah disaring bersih. Larutan tersebut sebaiknya disimpan dahulu / dituakan selama 6 bulan sebelum dipakai. Ciri-ciri larutan yang sudah jadi adalah warnanya menjadi kecoklatan / kehitaman. Tidak dianjurkan menggunakan arsenikum kimiawi dari apotik / toko kimia karena kadarnya terlalu tinggi / murni sehingga terlalu keras efeknya. Bilah keris akan mudah kebrangas (terlalu hitam / gosong) pada saat diwarangi sehingga jelek dilihat. Selain itu bila penanganan zat beracun tersebut tidak hati-hati dapat menimbulkan bahaya.

Marangi sebaiknya dilakukan di atas sebuah wadah untuk menampung tetesan cairan warangan. Masukkan kembali tetesan tersebut ke dalam botol penyimpan cairan warangan, jangan sembarangan dibuang. Cucilah wadah penampung dengan air yang mengalir.

7. Angin-anginkan keris dengan posisi berdiri (gunakan rak) agar pembentukan lapisan senyawa oksida besi-arsenik bisa sempurna
Pada proses mengangin-anginkan, keris jangan terkena sinar matahari langsung (bisa kebrangas / gosong), namun pilih saat matahari cerah / tidak mendung. Waktunya kira2 jam 9-11 pagi atau jam 2-4 sore.
Perhatikan kontras warna yang terbentuk pada permukaan bilah keris. Bila tingkat kontras yang diinginkan sudah tercapai, lanjutkan ke proses selanjutnya.

8. Setelah pengangin-anginan dianggap cukup, bilas lagi keris dengan air mengalir
Namun dalam membilas, jangan disemprot dengan tekanan air yang tinggi atau digosok-gosok / disentuh tangan telanjang. Pembilasan dimaksudkan untuk menghentikan reaksi kimia antara besi dan warangan sehingga keris tidak terlalu hitam / gosong.

9. Keringkan lagi sampai betul-betul kering dengan menekan-nekan bilah (jangan digosok) dengan kain bersih secara lembut lalu diangin-anginkan, Ingat, jangan sampai disentuh dengan tangan telanjang lagi.

10. Olesi keris dengan minyak (minyak’i) secara tipis dan merata menggunakan kuas
Dalam meminyaki, jangan sampai keris terlalu basah. Serap kelebihan minyak dengan kain bersih yang ditekan-tekan di permukaan keris (jangan digosok-gosok). Setelah itu keris diangin-anginkan semalaman dengan posisi berdiri (gunakan rak) agar bila ada kelebihan minyak dapat menetes / mengalir turun.

Minyak terbaik untuk meminyaki pusaka adalah minyak senjata (minyak untuk melumasi komponen2 mekanis senjata api). Namun bila sulit memperolehnya dapat digantikan dengan minyak Singer (pelumas untuk mesin jahit). Untuk memperbaiki aroma minyak senjata atau minyak Singer, agar pusaka baunya wangi, dapat ditambahkan sedikit (10%) minyak alami yang terbuat dari bunga, kayu, atau akar tumbuhan yang wangi (seperti minyak melati, mawar, cendana, gaharu, akar wangi) diaduk rata sebelum dipakai.

Jangan pernah menggunakan minyak yang bersifat kental dan lengket seperti minyak misik (minyak kemenyan) atau minyak wangi Arab lain yang bersifat seperti itu. Minyak seperti itu akan menimbulkan kerak yang lengket dan mengeras pada permukaan bilah dan bagian dalam warangka. Kerak tersebut sangat sulit dibersihkan dan bisa membuat keris sulit dicabut dari warngkanya. Pada akhirnya kerak tersebut akan menimbulkan kerusakan pada bilah keris.

11. Masukkan kembali pusaka ke warangkanya , simpanlah di tempat yang kering dan tidak lembab dalam hal memasang ukiran atau gagang keris, biasanya lubang pada ukiran lebih besar dari pesi keris. Hal ini dimaksudkan supaya pesi tidak rusak karena dipaksakan masuk. Agar genggamannya pas dan keris tidak mudah lepas dari gagangnya, pesi dililit dengan benang, carik kain seperti pita, atau boleh menggunakan potongan koran selebar panjang pesi kurang sedikit, sebelum dimasukkan ke lubang ukiran.

Cara memasukkannya adalah dengan diputar berlawanan arah lilitan sambil ditekan masuk. Saat menekan pesi untuk masuk harus terasa seret. Bila tidak artinya lilitannya kurang dan keris akan mudah lepas dari ukiran. Setelah pesi masuk sempurna, sambil tetap ditekan, balik arah putaran sambil mengepaskan posisi bilah terhadap ukiran. Dengan demikian lilitan, yang tadi diameternya mengerut karena putaran, kembali mengembang dan mengunci pesi dalam lubang ukiran.

Tidak dianjurkan memegang2 bilah pusaka dengan tangan telanjang. Hal ini bukan karena dikhawatirkan racun arsenik akan menempel pada tangan sehingga menyebabkan keracunan namun justru karena membahayakan kelestarian keindahan bilah pusaka tersebut. Pada permukaan telapak tangan selalu terdapat minyak / lemak yang berasal dari keringat atau barang / makanan yang dipegang sebelumnya. Bila kita memegang bilah pusaka dengan tangan telanjang, minyak / lemak pada tangan kita akan menempel pada permukaan bilah (sidik jari). Hal itu akan mempermudah atau memicu munculnya karat. Selain itu dikhawatirkan lapisan senyawa oksida besi-arsenik dan lapisan minyak, yang tipis sekali, dipermukaan bilah akan terhapus bila sering dipegang2 sehingga perlindungan terhadap karat hilang.

Jangan terbiasa meletakkan bunga segar di dekat bilah pusaka (sesaji atau caos dahar). Uap air yang keluar dari bunga dalam proses mengering meningkatkan kelembaban udara, bersifat tajam dan dapat menimbulkan karat yang merusak bilah pusaka.

Kebiasaan mengasapi keris dengan asap bakaran kemenyan (nguthuki menyan) juga seharusnya tidak perlu dilakukan. Asap kemenyan dapat terakumulasi di permukaan keris dan membentuk kerak yang sulit dibersihkan.

Sesungguhnya mencuci dan mewarangi keris tidak harus selalu dilakukan setiap tahun atau dalam jangka waktu tertentu. Karena proses tersebut sedikit banyak akan mengikis permukaannya sehingga dapat merusak keris dalam kurun waktu tertentu bila dilakukan terlalu sering.

Mencuci atau memandikan keris seyogianya dilakukan bila bilah keris terindikasi mulai berkarat atau tebal keraknya. Namun bila pemilik keris memiliki pengetahuan yang baik dalam hal perawatan keris seharusnya mampu memperpanjang interval pencucian keris tersebut.

Bila keris belum berkarat, sebaiknya yang perlu dilakukan dalam 6 bulan atau 1 tahun sekali hanyalah meminyakinya. Sehingga interval waktu pencucian dapat diperpanjang hingga 3 tahun sekali.

Perlu diketahui mewarangi keris hanya perlu dilakukan bila keris dicuci. Bila keris tidak dicuci tapi diwarangi maka tidak ada gunanya. Karena cairan warangan akan terhalang lapisan minyak sehingga tidak bisa bereaksi dengan besi / permukaan keris.

Dengan pengetahuan akan cara – cara perawatan yang tepat, diharapkan keris – keris kuno yang banyak tersebar di tengah – tengah masyarakat dapat terpelihara kelestarian dan keindahannya. Sehingga dalam jangka ratusan tahun ke depan, generasi penerus bangsa ini masih dapat menyaksikan bukti sejarah pencapaian budaya nenek moyangnya.

Catatan : Butuh Latihan dan Keahlian Khusus Untuk Mencuci dan Warangi Keris, Bila ragu daripada Keris anda rusak lebih baik serahkan pada ahlinya, saat ini sudah banyak jasa Khusus Cuci dan Warangi Keris Pusaka
Read more >>