Keris merupakan simbol pribadi, piyandel, sipat kandel, dan ini merupakan kepercayaan yang tidak bisa digugat dalam dunia perkerisan. Keris mempunyai makna dan isi, pertama-tama yang harus disadari adalah keris itu berisi piwulang-wewarah, nasehat untuk hidup dengan baik dan benar (harapan agar manusia menjadi arif dan bijaksana).
Keinginan manusia pada dasarnya hanyalah satu yaitu menuju Sang Pencipta, dan di dalam keris itulah diungkap filsafat “sangkan paraning dumadi” (asal manusia lahir dan kemana tujuan hidupnya), “sangkan paraning pambudi” (berupaya mencapai tujuan hidup dengan ilmu) atau “Manunggaling Kawula Gusti” (upaya menuju arah tujuan hidup).
Keinginan manusia pada dasarnya hanyalah satu yaitu menuju Sang Pencipta, dan di dalam keris itulah diungkap filsafat “sangkan paraning dumadi” (asal manusia lahir dan kemana tujuan hidupnya), “sangkan paraning pambudi” (berupaya mencapai tujuan hidup dengan ilmu) atau “Manunggaling Kawula Gusti” (upaya menuju arah tujuan hidup).
Oleh karenanya secara fisik keris menggambarkan dan menggoreskan harapan sekaligus nasehat agar manusia senantiasa bertindak dan bersikap seperti yang digambarkan oleh keris. Gambaran itu diadopsi di dalam dapur, pamor, juga racikan yang tertera dalam keris. Keris dengan luwes menggambarkan upaya/usaha manusia untuk menuju Sang Pencipta.
Keris ada yang lurus dan ada yang lekuk hal ini menggambarkan suatu semangat “Teguh dalam niat, luwes dalam pelaksanaannya” artinya manusia diminta bijaksana dalam menjalani hidupnya, luwes dan tidak kaku.
Ketajaman keris dimaksudkan bukan untuk perang melawan orang lain, tetapi untuk memerangi diri sendiri, keris bukan untuk membunuh tetapi digunakan untuk melindungi diri dimana hal ini sangat sulit untuk dipisahkan/dibedakan jika seseorang sangat ingin berkuasa, maksudnya adalah kemampuan untuk mengendalikan nafsu dalam diri sendiri.
alu dimana letak magis keris ? Di dalam filsafat Jawa digoreskan “Bapa (wong tuwo) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah” maksudnya jika ayah (orang tua) hidup prihatin dan anak, cucu, cicit, dan canggah yang akan menerima kebahagiaan.
Keprihatinan yang diwujudkan dalam benda yang pengerjaannya dilakukan oleh seorang Empu dengan bermati raga dan bertapa selama paling tidak 3 bulan tentu memberikan daya yang sangat kuat yang terekam di dalam mantra yang terpatri dalam godaman sang empu lewat pembakaran dan penempaan yang terus menerus dalam keprihatinan yang mendalam.
Doa yang terlantun dari empu yang berupa mantra-mantra ibarat kaset yang diputar dan terekam di dalam keris dan tosan aji. Kaset itu bisa diputar balik apabila yang mempunyai keris tahu cara memutarnya.
Oleh karena itu dalam dunia perkerisan ada laku/ritual yang harus ditempuh seseorang apabila hendak membeli keris. Membeli keris memang dengan uang, tetapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu dengan laku keprihatinan, laku yang sangat umum adalah ”Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembah laku utama” ( Hati yang baik yang selalu mengemuka, keharuman pembicaraan yang senantiasa menarik, ditambah laku keutamaan ).
Tanpa laku itu keris tidak akan bermakna.
Keris yang handal butuh laku yang handal pula, oleh karena itu meski kita mempunyai keris Gajah Mada sekalipun tanpa laku yang memadai keris itu tidak akan berguna, lantaran tidak bisa dihidupkan daya magisnya. Walaupun keris itu dalam eksoterinya kurang berkelas, tetapi jika disertai laku luhur pemiliknya, maka boleh jadi keris itu akan bermakna bagi hidup pemiliknya.
Inilah selintas pemahaman keris sebagai manifestasi “Jiwa Jawi” yang tidak sekedar bermuatan etnis Jawa, tetapi Jawa dalam arti Javana yaitu “ kearif-bijaksanaan ”.
Inilah selintas pemahaman keris sebagai manifestasi “Jiwa Jawi” yang tidak sekedar bermuatan etnis Jawa, tetapi Jawa dalam arti Javana yaitu “ kearif-bijaksanaan ”.
0 komentar :
Posting Komentar
Silahkan berikan tanggapan atau komentar atas artikel - artikel yang telah di posting pada halaman ini dengan sopan dan bijaksana ...